Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Adapun
Ide-ide pembaharuan Islam dari luar yang masuk ke
Indonesia dengan demikian dapat dibaca berlangsung secara berproses setidaknya
melalui 3 (tiga) jalur :
·
Jalur haji dan mukim, yakni tradisi
(pemuka) umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ketika itu bermukim untuk sementara waktu guna menimba dan
memperdalam ilmu keagamaan atau pengetahuan lainnya. Ide-ide baru yang mereka
peroleh tak jarang kemudian juga mempengaruhi orientasi pemikiran dan dakwah
mereka di tanah air. Dari hasil observasi C.S. Hurgronje terhadap
komunitas muslim dari Jawa yang bermukim di Mekah pada tahun 1884-1885 M,
menyebutkan bahwa kurikulum yang dipelajari mereka di sana antara lain teologi,
fikih, ilmu bahasa dan sastra Arab, aritmatika yang berguna untuk perhitungan
fara’id (ilmu waris) dan juga ilmu falak dengan metode hisab. Masyhur dalam
sejarah bahwa K.H. Ahmad Dahlan yang menguasai ilmu falak mempergunakan metode
hisab (bukan lagi dengan ru’yat) untuk menentukan waktu awal puasa atau
jatuhnya hari raya Ied, yang ketika itu memperoleh penentangan kuat dari ulama
setempat yang masih berfaham tradisionil.
·
Jalur publikasi, yakni berupa jurnal atau
majalah-majalah yang memuat ide-ide pembaharuan Islam baik dari terbitan Mesir
maupun Beirut. Wacana yang disuarakan media
tersebut kemudian menarik muslim nusantara untuk mentransliterasikannya ke
dalam bahasa lokal, seperti pernah muncul jurnal al-Imam, Neracha dan Tunas
Melayu di Singapura. Di Sumatera Barat juga terbit al-Munir yang sebagian
materinya disadur K.H. Ahmad Dahlan kedalam bahasa Jawa agar mudah dikonsumsi
anggota masyarakat yang hanya menguasai bahasa ini.
·
Peran mahasiswa yang sempat menimba
ilmu di Timur-Tengah. Menurut Achmad Jainuri, para pemimpin gerakan pembaharuan
Islam awal di Indonesia hampir merata
adalah alumni pendidikan Mekah. Alumni pendidikan Mesir yang terlibat dalam
gerakan pembaharuan ini rata-rata baru muncul sebagai generasi kedua. Patut dicatat disini
bahwa faktor domestik seperti proyek pendidikan yang diterapkan pemerintah
kolonial Belanda ketika itu telah menunjukkan implikasi nyata berupa kemunculan
kaum pribumi terpelajar. Dimana golongan inilah yang peka terhadap isu-isu
pembaharuan. Namun secara umum sebagaimana diutarakan oleh Alfian, kelahiran
dan perkembangan pembaharuan Islam di Indonesia merupakan wujud respon terhadap
hal-hal berikut ini:
1. Kemunduran
Islam sebagai agama karena praktek-praktek penyimpangan
2. Keterbelakangan
para pemeluknya; dan
3. Adanya
invansi politik, kultural dan intelektual dari dunia Barat.
B.
Tujuan Makalah
Tujuan penyususnan makalah ini dilakukan guna untuk mengetahui bagaimana Pemikiran
dan Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia.
C.
Manfaat Makalah
Manfaat di lakukannya penyusunan Makalah dengan judul Pemikiran dan Gerakan
Pembaharuan Islam di Indonesia ini, agar mahasiswa dapat memahami
pembaharuan-pembaharuan islam di indonesia, sehingga kelak dapat menjadi
individu yang mengetahui segala perubahan-peruabahan gerakan islam di indonesia
.
BAB II
PEMBAHASAN
Sejak abad ke-20,
gerakan pembaruan pemikiran di dunia Islam terjadi secara massif
(besar-besaran) dengan munculnya tokoh-tokoh Muslim ataupun organisasi
terkemuka di berbagai negara, seperti Mesir, Iran, Pakistan (India), dan
Indonesia. Gagasan pembaruan tersebut dimunculkan melalui istilah dan
aksentuasi yang berbeda, antara lain tajdid (renewal, pembaruan) dan ishlah
(reform, reformasi), baik yang bertendensi puritanistik dari segi ajaran maupun
revivalistik dari segi politik. Ide-ide pembaharuan terlihat telah turut mewarnai arus pemikiran dan
gerakan Islam di Indonesia. Menilik latar belakang kehidupan sebagian
tokoh-tokohnya, sangat mungkin diasumsikan bahwa perkembangan baru Islam di
Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh ide-ide yang berasal dari luar
Indonesia. Seperti misalnya Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Ahmad Surkati
(Al-Irshad), Zamzam (Persis), yang ketiganya sempat menimba ilmu di Mekkah dan
berkesempatan untuk dapat berinteraksi dengan arus pemikiran baru Islam dari
Mesir.
Tokoh lainnya seperti
Tjokroaminoto (Sarekat Islam) juga dikenal menggali inspirasi gerakannya dari
ide-ide pembaharuan Islam di anak benua India.
Sekalipun demikian, Karel
Steenbrink menyatakan keraguannya pada adanya pengaruh pemikiran Muhammad
Abduh kedalam konstruk gerakan Islam Indonesia modern. Ide-ide pembaharuan Islam dari luar yang masuk ke Indonesia dengan demikian
dapat dibaca berlangsung secara berproses setidaknya melalui 3 (tiga) jalur :
·
Jalur haji dan mukim, yakni tradisi
(pemuka) umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ketika itu bermukim untuk sementara waktu guna menimba dan
memperdalam ilmu keagamaan atau pengetahuan lainnya. Ide-ide baru yang mereka
peroleh tak jarang kemudian juga mempengaruhi orientasi pemikiran dan dakwah
mereka di tanah air. Dari hasil observasi C.S. Hurgronje terhadap
komunitas muslim dari Jawa yang bermukim di Mekah pada tahun 1884-1885 M,
menyebutkan bahwa kurikulum yang dipelajari mereka di sana antara lain teologi,
fikih, ilmu bahasa dan sastra Arab, aritmatika yang berguna untuk perhitungan
fara’id (ilmu waris) dan juga ilmu falak dengan metode hisab. Masyhur dalam
sejarah bahwa K.H. Ahmad Dahlan yang menguasai ilmu falak mempergunakan metode
hisab (bukan lagi dengan ru’yat) untuk menentukan waktu awal puasa atau
jatuhnya hari raya Ied, yang ketika itu memperoleh penentangan kuat dari ulama
setempat yang masih berfaham tradisionil.
·
Jalur publikasi, yakni berupa jurnal atau
majalah-majalah yang memuat ide-ide pembaharuan Islam baik dari terbitan Mesir
maupun Beirut. Wacana yang disuarakan media
tersebut kemudian menarik muslim nusantara untuk mentransliterasikannya ke
dalam bahasa lokal, seperti pernah muncul jurnal al-Imam, Neracha dan Tunas
Melayu di Singapura. Di Sumatera Barat juga terbit al-Munir yang sebagian
materinya disadur K.H. Ahmad Dahlan kedalam bahasa Jawa agar mudah dikonsumsi
anggota masyarakat yang hanya menguasai bahasa ini.
·
Peran mahasiswa yang sempat menimba
ilmu di Timur-Tengah. Menurut Achmad Jainuri, para pemimpin gerakan pembaharuan
Islam awal di Indonesia hampir merata
adalah alumni pendidikan Mekah. Alumni pendidikan Mesir yang terlibat dalam
gerakan pembaharuan ini rata-rata baru muncul sebagai generasi kedua. Patut dicatat disini
bahwa faktor domestik seperti proyek pendidikan yang diterapkan pemerintah
kolonial Belanda ketika itu telah menunjukkan implikasi nyata berupa kemunculan
kaum pribumi terpelajar. Dimana golongan inilah yang peka terhadap isu-isu
pembaharuan. Namun secara umum sebagaimana diutarakan oleh Alfian, kelahiran
dan perkembangan pembaharuan Islam di Indonesia merupakan wujud respon terhadap
hal-hal berikut ini:
4. Kemunduran
Islam sebagai agama karena praktek-praktek penyimpangan
5. Keterbelakangan
para pemeluknya; dan
6. Adanya
invansi politik, kultural dan intelektual dari dunia Barat.
Singkat kata, gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia tidaklah muncul dalam satu pola dan bentuk yang
sama, melainkan memiliki karakter dan orientasi yang beragam. Disini penting
dipahami bahwa gerakan nasionalisme Indonesia yang bangkit sekitar awal abad
ke-20 diusung sebagiannya oleh tokoh-tokoh modernis muslim tidak hanya melalui
kendaraan gerakan yang berdasar atau berafiliasi ideologis pada Islam. Sejarah
menunjukkan bahwa Islam ternyata hanya menjadi salah satu alternatif yang
mungkin bagi tokoh-tokoh modernis muslim di Indonesia sebagai sumber rujukan
teoritis dan instrumental gerakan pembaharuan dan nasionalismenya. Sekalipun
demikian, hal ini tidak mengecilkan pengertian adanya keterkaitan antara
dimensi penghayatan religius dan artikulasi perjuangan sosial-politik di
masyarakat. Dengan kata lain, kesadaran nasional sebagai anak bangsa yang
terjajah oleh penguasa asing tampaknya memikat mereka untuk bersama-sama
menempatkan prioritas nasional sebagai ujud kepeduliannya. Maka menarik
dicermati paparan Harry J. Benda yang menyebutkan bahwa pembaharuan
Islam di Indonesia pada umumnya memiliki 4 (empat) bidang garap :
·
Menyerang formalisme dari ortodoksi
Islam serta realitas sinkretisme ajaran karena pengaruh animisme dan
Hindu-Budha.
·
Menyerang institusi pra-Islam yang menghalangi perkembangan, dengan representasi
institusi adat dan kaum priyayi;.
·
Melawan tekanan westernisasi dan
dominasi nilai-nilai Barat; dan
·
Melawan kekuasaan status quo
kolonial Belanda.
Dengan kian massifnya kiprah gerakan pembaharuan Islam di Indonesia di
tengah-tengah masyarakat, secara umum pada awal abad ke-20 M tersebut, corak
gerakan keagamaan Islam di Indonesia dapat dipetakan dengan meminjam istilah
Achmad Jainuri sebagai berikut:
·
Tradisionalis-konservatis, yakni mereka yang menolak kecenderungan westernisasi (pembaratan) dengan
mengatasnamakan Islam yang secara pemahaman dan pengamalan melestarikan
tradisi-tradisi yang bercorak lokal. Pendukung kelompok ini rata-rata dari
kalangan ulama, tarekat dan penduduk pedesaan.
·
Reformis-modernis, yakni mereka
menegaskan relevansi Islam untuk semua lapangan kehidupan baik privat maupun
publik. Islam dipandang memiliki karakter fleksibilitas dalam berinteraksi
dengan perkembangan zaman.
·
Radikal-puritan, seraya sepakat dengan klaim fleksibilitas Islam di tengah arus zaman, mereka enggan
memakai kecenderungan kaum modernis dalam memanfaatkan ide-ide Barat. Mereka
lebih percaya pada penafsiran yang disebutnya sebagai murni Islami. Kelompok
ini juga mengkritik pemikiran dan cara-cara implementatif kaum tradisionalis.
Sebagai pengayaan, menarik jika tipologi ini dikomparasikan dengan kasus
gerakan Islam yang berkembang di Turki.
1.
Syekh Ahmad Syurkati
Islam Indonesia, bahkan sejarah bangsa dan negara Indonesia,
mungkin akan berbeda bila Syekh Ahmad Surkati tidak
memutuskan hijrah ke negeri yang dulu dikenal dengan nama Hindia Belanda ini di
tahun 1911. Ia menerima ajakan Jamiat Khair untuk pindah dari Mekkah, pusat
Islam dunia, untuk memimpin sekolah-sekolah milik organisasi pendidikan modern
tertua di Indonesia itu. Keputusan itu mestinya sangat berat
mengingat kedudukannya yang prestisius di Mekkah, sebagai seorang allamah
dan mufti di kota suci itu, juga pengajar resmi di Masjidil Haram. Tak heran
kalau sahabat dan saudaranya berusaha mencegahnya hijrah. Namun, Surkati
menjawab dengan heroik, “Bagi saya, mati di Jawa dengan berjihad (berjuang)
lebih mulia daripada mati di Mekkah tanpa jihad.”
Ahmad Surkati lahir pada
1875 di Dungulah, Sudan bagian utara. Ayahnya seorang ulama, lulusan
Universitas Al-Azhar, Kairo. Ia pun sempat belajar di Al-Azhar, namun takdir
Allah kemudian membawanya ke Mekkah dan Madinah, menimba ilmu di dua kota suci
itu sampai meraih gelar dan kedudukan tinggi di sana.
Beliau seorang reformis, pembaca kitab dan pengagum dua ulama besar
Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Juga pengagum berat pemikiran
pembaharuan Islam Syekh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Ia juga pembaca setia
majalah Al-Manaar
yang diterbitkan di Kairo oleh Rasyid Ridha, murid utama Abduh, yang berisi tulisan-tulisan
mereka berdua, termasuk kitab tafsir kontemporer yang kemudian dikenal dengan Tafsir
Al-Manaar.
2.
Ahmad Hassan
Ahmad
Hasan (Pendiri Persatuan
Islam PERSIS) Nama asli beliau adalah Hassan bin Ahmad dan kemudian lebih
dikenal dengan sebutan Hassan Bandung ketika sudah tinggal di kota Bandung.
Saat masih menetap di Bangil, biasa dipanggil dengan Ahmad Hassan Bangil.
Beliau lahir di Singapura pada tahun 1887. Beliau adalah ulama yang dikenal
sangat berpendirian teguh dan ahli dalam berbagai ilmu keagamaan. Pembaru
terkemuka dari kalangan Persatuan Islam (Persis) ini, juga terkenal sebagai
politikus ulung. Beliau lahir hasil pernikahan Ahmad dan Muznah. Mereka menikah
di Surabaya ketika Ahmad sedang melakukan perjalanan dagangnya di kota
tersebut. Usai menikah, Ahmad memboyong istrinya ke Singapura. Meski lahir di
Surabaya, Muznah berasal dari Palekat Madras Selain berdagang, Ahmad (ayah
Hasan) adalah seorang wartawan. Ia adalah pemimpin Koran Nurul Islam yang
terbit di Singapura. Beliau juga ahli dalam hal agama dan bahasa. Dia
menunaikan ibadah haji di tahun 1956. Pada saat berada di Tanah Suci, Ahmad
Hassan jatuh sakit hingga terpaksa dibawa pulang kembali. Kemudian tertimpa
lagi penyakit baru, yakni infeksi yang menyebabkan kakinya harus dipotong.
Tokoh kharismatik ini meninggal dunia pada usia 71 tahun di Bangil (Jawa
Timur), 10 November 1958. Pendidikan Secara formal, Hasan tak pernah
benar-benar menamatkan sekolah formalnya yang ditempuhnya di Singapura,
dikarenakan pada usia 12 tahun Hasan sudah diajak berdagang, menjaga toko milik
iparnya, Sulaiman. Seiring dengan itu, oleh ayahnya Ahmad Hassan diinginkan
meneruskan jejaknya menjadi penulis. Sehingga, semenjak kecil ia sudah
mendapatkan pendidikan agama dari orang tuanya. Di usia 7 tahun, Hassan muda
mulai mempelajari kitab suci Al-Quran serta pengetahuan dasar keagamaan. Hanya
dalam tempo dua tahun, kedua pelajaran ini dapat dikuasainya karena ditunjang
ketekunan dan kecerdasan. Setelah itu dia masuk sekolah Melayu selama 4 tahun
untuk belajar bahasa Arab, Melayu, Tamil dan Inggris. Pendidikan ini selesai 4
tahun. Kemudian, kegiatan menimba ilmunya banyak dilakukan dengan berguru pada
sejumlah ulama. Di antaranya adalah Haji Ahmad Kampung Tiung, Haji Muhammad
Taib Kampung Rokoh, Said Abdullah al-Munawi al-Mausili, Abdul Latif, Haji
Hasan, dan Syekh Ibrahim India. Aktivitas Tak hanya ilmu pelajaran saja yang
ditekuni, Ahmad Hassan juga terbiasa mengisi waktu luangnya dengan mengasah
keterampilan, seperti menenun dan bertukang kayu. Selain itu, di waktu tertentu
dia membantu ayahnya di percetakan. Di usia remaja, Ahmad Hassan juga aktif
menulis dan hal ini tentu sangat menyenangkan bagi sang ayah. Tahun 1909, karya
tulisannya untuk pertama kali dipublikasikan dan dia pun diangkat menjadi
pembantu surat kabar Utusan Melayu, terbitan Singapura. Tulisan-tulisannya
banyak mengandung kritik konstruktif khususnya bagi kemajuan dan perkembangan
umat Islam. Pada tahun 1912, A. Hasan bekerja di Utusan Melayu yang diterbitkan
oleh Singapura Press.
Beliau menulis artikel
yang berisi nasihat-nasihat, mengajak kepada kebaikan dan menjauhi kepada
kemungkaran. Tidak jarang beliau menulis dalam bentuk puisi yang menyentuh.
Dalam perkembangannya, Tulisan Hasan menemui bentuknya. Yakni punya sikap yang
tegas terhadap persoalan yang menurut dia masuk ke wilayah prinsip. Misalnya
mengecam keras terhadap Qadli (hakim) yang memeriksa perkara dan mengumpulkan
antara pria dan wanita dalam tempat duduk yang sama. Di surat kabar ini beliau
bekerja sampai tahun 1916. Masih banyak kegiatan yang dia lakukan. Seperti
misalnya, saat bekerja menjadi guru di madrasah untuk orang-orang India di
beberapa tempat di Singapura. Di samping itu, di luar jam mengajar ia masih
pula mencari nafkah dari sumber-sumber yang halal. Tercatat, ia pernah menjadi
pedagang batu permata, agen es, pedagang pakaian, penambal ban mobil dan selama
setahun menjadi kerani kepaka di Pilgrim Office yang mengurusi perjalanan haji
ke Tanah Suci. Ahmad Hassan baru kembali ke Indonesia, tepatnya ke Surabaya,
pada tahun 1921 saat mengurus toko kain milik guru sekaligus pamannya, Haji
Abdul Latif. Pemikiran Kebetulan berada di Bandung, dia menyaksikan pergolakan
pemikiran keagamaan yang sedang hangat antara kaum muda dan tua. Kaum tua
mempertahankan tradisi keagamaan yang telah mapan dan berkembang di masyarakat.
Sementara itu, para pemuda ingin menghapuskan segala sesuatu yang tidak punya
landasan Alquran dan Hadis Nabi. Awalnya, Ahmad Hassan cenderung sepakat dengan
pendapat kaum tua. Pada waktu itu, dia bertemu dengan KH Abdul Wahab Hasbullah,
seorang tokoh NU. Tak lama, keduanya lantas bersahabat dengan wakil kaum tua
ini. Namun lama kelamaan, saat harus menghadapi persoalan yang muncul, dia
menjadi kurang puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan oleh kaum tua.
Beberapa saat kemudian, ia bertemu dengan seorang pedagang dan ulama asal
Sumatra Barat bernama Pakih Hasyim. Ulama ini telah banyak mendalami pemikiran
pembaruan kaum muda di tempat asalnya. Dengan segera saja, keduanya menjalin
pertemanan yang akrab. Kendati demikian, usaha dagang yang dijalaninya tidak
berhasil baik. Toko yang ia kelola mengalami kemunduran hingga terpaksa
dikembalikan kepada Haji Abdul Latif.
Selanjutnya, dia
menggeluti usaha tambal ban serta mempelajari cara bertenun di Kediri. Tahun
1942, Ahmad Hasan meneruskan sekolah tenunnya di Bandung dan tinggal di
kediaman keluarga KH M Yunus, yang dikenal sebagai pendiri Persatuan Islam
(Persis). Sejak itulah ia kembali terlibat urusan keagamaan. Ketika usahanya
tidak lagi punya prospek cerah, Ahmad Hassan mencurahkan daya pikirannya untuk
memajukan Persis. Oleh sahabat-sahabatnya, dia diminta untuk menjadi guru agama
dan menetap di Bandung. Akan tetapi, pada saat luang, dia pun meneruskan
bakatnya yang lama yakni menulis. Buah karya pertamanya yang mendapat sambutan
luas masyarakat, yakni yang berjudul Tafsir al-Furqan. Tulisan tersebut
dicetaknya sendiri. Pada masa itu, dia berkenalan dengan Soekarno. Perkenalan
ini bermanfaat besar dalam mengenal agama Islam secara lebih mendalam, meski di
sana sini timbul benturan pemikiran di antara mereka. Selain itu dia pun
berkenalan dengan M Natsir. Bersama Natsir, keduanya kemudian menerbitkan
majalah Pembela Islam dan majalah Al-Lisan. Di kedua majalah itu, Ahmad Hassan
memperlihatkan sosok dan kapasitas pribadinya sebagai pembela, pemurni, dan
pembaru Islam. Namanya pun menjadi terkenal di pelosok Nusantara, Malaysia
bahkan Singapura. Ketika membela panji-panji ajaran Islam, Ahmad Hassan tak
hanya melakukannya lewat karya tulisan, tetapi juga melalui perdebatan lisan.
Kepiawaiannya dalam berdebat itu menyebabkan banyak lawan debatnya kalah dan
kembali ke jalan yang benar. Satu hal penting, dia tidak pernah memilih-milih
lawan berdebat. Siapa saja, kapan saja, dan dimana saja debat akan dilakoninya
asal demi upaya menegakkaan ajaran Islam. Persis kian dikenal masyarakat luas
seiring kiprah keagamaan dari Ahmad Hasaan. Setelah itu, pada tahun 1941, dia
hijrah ke Bangil. Di tempat baru tersebut, dia masih tetap bersemangat
mengembangkan Persis, menulis, bertablig, dan berdebat. Peran A. Hasan di
Indonesia Ahmad Hasan dikenal sebagai salah satu tokoh pembaharuan di
Indonesia.
Ahmad
Hasan pada pertengahan abad 20-an bergabung dengan
organisasi Persatuan islam (Persis) yang baru berdiri di Bandung, dimana beliau
sebagi salah satu pendiri organisasi itu. Melalui Persis ini beliau dikenal
luas sebagai pemikir Muslim yang teguh menyerukan sikap memurnikan Islam dengan
kembali kepada Quran dan Sunnah, mengajak kepada ijtihad serta meninggalkan
taklid dan bid'ah. Pada tahun 1941 . Hasan pindah ke Bangil (Jawa Timur) dan
mendirikan pesantren Persatuan islam dimana beliau semakin berkonsentrasi
memperjuangkan fikirannya, dengan menerbitkan majalah, menulis buku, surat
menyurat, berpolemik bahkan berdebat. Dengan Soekarno beliau pernah berpolemik
yang kemudoan dibukukan dengan Islam dan kebangsaan. Soekarno juga pernah melakukan
surat menyurat dengan beliau (sebagaimana tertulis dalam surat-surat dari Endeh
pada buku di bawah bendera revolusi) dimana Soekarno menyatakan penghargaan
terhadap pemikiran ke-Islaman A. Hasan. Ahmad Hasan memiliki gagasan keagamaan progressif
yang beliau sampaikan secara lugas dan argumentasi yang akurat, yang kemudian
mampu memberikan pengaruh cukup berarti terhadap gerakan pembaharuan Islam di
Indonesia. TOKOH DAN KARYANYA Sekilas Karya A. Hasan Berdasarkan catatan, Ahmad
Hassan telah menulis puluhan buku mengenai masalah keagamaan, terutama fikih
(usul fikih), tafsir, hadis, dan ilmu kalam.
3.
K.H. Ahmad Dahlan
a.
Biografi
KH. Ahmad Dahlan
Muhammad
Darwisy (Nama Kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan), Beliau adalah pendiri
Muhammadiyah. Beliau adalah putera keempat dari tujuh bersaudara. Bapaknya
bernama K.H. Abu Bakar. K.H. Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib
terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogjakarta pada masa itu. Ibu dari K.H.
Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu
Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. K.H. Ahmad Dahlan meninggal dunia di
Yogyakarta, tanggal 23 Februari 1923. Beliau juga dikenal sebagai seorang
Pahlawan Nasional Indonesia.
Nama
kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari
tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik
bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana
Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara
Walisongo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan
Islam di Tanah Jawa. Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan)
bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas
bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana
Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin
Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Pada
umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Makkah selama lima tahun. Pada
periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan
Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti
nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Makkah
dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh
Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun
1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta. Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya
sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad
Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya
dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah,
Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan
Safwan, 1991). Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai
Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai
Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya
dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah.
Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta. Beliau
dimakamkan di Karang Kajen, Yogyakarta.
b.
Proses
Terbentuknya Organisasi Muhammadiyah
Bulan
Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan
momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam
modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan
pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di
dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan
berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota
santri Kauman Yogyakarta.
Kata
”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata
”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan
jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi
Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia
bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad,
dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah
memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia
sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar
itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada
umumnya.” Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak
lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai
Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan
ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai
Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu
diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang
bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi
dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang;
juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn
Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan
Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim
di Saudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu
telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi
sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan
pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
Gagasan
untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk
mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban
(2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911.
Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai
Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara
informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan
pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma yang
didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan
”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan
di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat
di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan
papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan
ilmu-ilmu umum.
Maka
pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330
Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama
”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20
Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar
Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh
Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah”
yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November
1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan,
”Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912.
Namanya ”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta”.
Dalam
pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung
arti yang sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam
kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang
sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam yang
murni itu serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk
mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang
maju dan menggembirakan.
Kelahiran
Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan
langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang
ingin kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid
(pembaharuan) yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi
karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian
hari. Kyai Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi dengan
tipikal yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari
keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan)
yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman
terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada
sumbernya yang asli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shahih, dengan membuka
ijtihad.
Kyai
Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, menurut Djarnawi Hadikusuma telah
menampilkan Islam sebagai ”sistem kehidupan manusia dalam segala seginya”.
Artinya, secara Muhammadiyah bukan hanya memandang ajaran Islam sebagai aqidah
dan ibadah semata, tetapi merupakan suatu keseluruhan yang menyangkut akhlak
dan mu’amalat dunyawiyah. Selain itu, aspek aqidah dan ibadah pun harus
teraktualisasi dalam akhlak dan mu’amalah, sehingga Islam benar-benar mewujud
dalam kenyataan hidup para pemeluknya. Karena itu, Muhammadiyah memulai
gerakannya dengan meluruskan dan memperluas paham Islam untuk diamalkan dalam
sistem kehidupan yang nyata.
Kyai
Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan
cerdas. Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang
sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah, tidak taklid dan fanatik buta
dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan akal pikirannya
tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir teoritik dan sekaligus beripiki
praktik. Kyai Dahlan tidak ingin umat Islam taklid (ikut2an tnpa dsar) dalam
beragama, juga tertinggal dalam kemajuan hidup. Karena itu memahami Islam
haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang sejati atau hakiki dengan
mengerahkan seluruh kekuatan akal piran dan ijtihad (usaha yg b’sungguh unt
mncapai tujuan yg benar).
Kelahiran
Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan cerdas dan pembaruan dari pendirinya, Kyai
Haji Ahmad Dahlan, didorong oleh dan atas pergumulannya dalam menghadapi
kenyataan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia kala itu, yang juga menjadi
tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan. Adapun faktor-faktor yang menjadi
pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara lain:
Umat
Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga
menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat
Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula
agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi; Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari
tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat; Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam
memprodusir kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman;
Umat
Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta
berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan
tradisionalisme dan Karena
keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta
berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin
menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat. Karena itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah
karena alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut:
- Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam. Cntohnya: mengadakan pesta minuman keras, main judi, panco apabila ad raja2 yg meninggal di istana. Lalu memotong kerbau.
- Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern
- Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan
- Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar
c.
Gagasan
Pemikiran KH. Ahmad Dahlan Pembaruan & Pemurnian
Islam
Formalitas
beragama adalah fokus utama yang ingin didekonstruksi oleh Kyai Dahlan. Ide
pembaharuannya menyangkut akidah dan syariat, misalnya tentang upacara ritual
kematian, upacara perkawinan, kehamilan, sunatan, berziarah ke kuburan keramat,
memberikan sesajen kepada hal yang dianggap keramat dan sebagainya. Menurut
Kyai Dahlan, hal-hal tersebut bertentangan dengan Islam dan dapat menimbulkan
perbuatan syirik dan musyrik. Kyai Dahlan juga berupaya menegakkan ajaran Islam
sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist, berusaha mengedepankan ijtihad jika ada hal
yang tidak dapat dalam Al-Qur’an maupun Hadist serta berusaha menghilangkan
taqlid (pendapat ulama terdahulu tanpa ada dasarnya) dalam fiqih dan menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar.
1)
Pembaharuan
Lewat Politik
Sebelum Muhammadiyah berdiri, Kiai Ahmad Dahlan telah melakukan
berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, Kiai diangkat sebagai
khatib Masjid Besar Yogyakarta dengan gelar Katib Amin oleh Kerajaan
Ngayogyakarta Hadiningrat dalam usianya yang relatif muda sekitar 28 tahun,
ketika ayahanda Kyai mulai uzur dari jabatan serupa. Satu tahun kemudian (1907)
Kiai memelopori Musyawarah Alim Ulama. Dalam rapat pertama beliau menyampaikan
arah kiblat Masjid Besar kurang tepat.
Tahun 1922 Kiai membentuk Badan Musyawarah Ulama. Tujuan badan itu
ialah mempersatukan ulama di seluruh Hindia Belanda dan merumuskan berbagai
kaidah hukum Islam sebagai pedoman pengamalan Islam khususnya bagi warga
Muhammadiyah. Badan Musyawarah ini diketuai RH Moehammad Kamaludiningrat,
penghulu Kraton. Meskipun pernah berbeda pendapat, Moehammad Kamaludiningrat
ini yang mendorong para pimpinan Muhammadiyah kemudian membentuk Majelis Tarjih
(1927). Majelis ini diketuai Kiai Mas Mansur. Dengan tujuan dakwah agar manusia
berfikir dan tertarik pada kebagusan Islam melalui pembuktian jalan kepandaian
dan ilmu. Tahun 1909, Kiai Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo.
Tujuannya selain sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar
aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya. Ketika Muhammadiyah
terbentuk, bahkan 7 orang pengurusnya menyusul bergabung dengan Boedi Oetomo.
Hubungan Muhammadiyah dengan Boedi Oetomo sangat erat, sehingga Kongres Boedi
Oetomo tahun 1917 diselenggarakan di rumah Kiai Ahmad Dahlan.
Di sisi lain Dr. Soetomo pendiri Boedi Oetomo juga banyak terlibat
dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah dan menjadi Penasehat (Adviseur Besar)
Muhammadiyah. Dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 (Surabaya), Dr.Soetomo
memberikan ceramah (khutbah) dengan tema Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO).
Khutbah ini yang mendorong lahirnya PKO dengan rumah sakit dan panti asuhannya
kemudian. Dr.Soetomo pun membantu memperlancar pengesahan berdirinya
Muhammadiyah, tiga tahun setelah berdirinya.
Untuk mengetahui informasi perkembangan pemikiran di Timur Tengah
Ahmad Dahlan menjalin hubungan intensif melalui Jami’at Khair dan masuk menjadi
anggotanya pada tahun 1910. Ketika Syarikat Islam berdiri, Ahmad Dahlan pun
ikut serta menjadi anggota. Rupannya dengan masuknya Ahmad Dahlan pada semua organisasi
tersebut di atas dakwahnya semakin meluas dan mendapat respon positif dan di
dukung oleh kalangan modernis dan perkotaan. Dari sinilah Ahmad Dahlan mendapat
masukan dari berbagai pihak, yang akhirnya pada tanggal 18 November 1912 Ahmad
Dahlan mendirikan wadah gerakan bagi pikirannya yaitu “Muhammadiyah”
2)
Pembaharuan
Lewat Pendidikan
Tak
kalah penting dalam pembicaraan kita tentang Kyai Dahlan adalah semangatnya
sebagai seorang pendidik. Beliau begitu intens mengkritik dualisme pendidikan
pada masanya. Pandangan muslim tradisional terhadap pendidikan terlalu
menitikberatkan pada aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
terlihat dari lembaga pendidikannya yaitu pesantren. Pesantren lebih
mengembangkan ilmu agama dibanding ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan
kemunduran pada dunia Islam karena umat Islam hanya memikirkan masalah akhirat
dan menimbulkan sikap pasrah.
Begitu
pun dengan sistem pendidikan kolonial. Dilihat dari metode pengajaran dan
alat-alat pendidikannya, memang terbilang banyak sekali manfaat dan kemajuan
yang bisa diraih siswa dari pendidikan kolonial ini. hanya saja, dalam sekolah
kolonial tidak terdapat pelajaran tentang agama, khususnya Islam. Hal ini
menyebabkan siswa cakap secara intelektual namun lemah karakter dan
moralitasnya. Karena itulah Kyai Dahlan memandang penting persoalan sinergi
antara ilmu umum dan agama. Karena itulah institusi pendidikan Muhammadiyah
tidak memberlakukan pemisahan antara ilmu umum dan agama.
Sekolah
Muhammadiyah yang pertama telah berdiri satu tahun sebelum Muhammadiyah sebagai
organisasi berdiri. Pada tahun 1911 Kyai Dahlan mendirikan sebuah madrasah di
rumahnya yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslim terhadap
pendidikan agama dan pada saat yang sama memberikan mata pelajaran umum. Di
sekolah itu, pendidikan agama diberikan oleh Kyai Dahlan sendiri dan pelajaran umum
diajarkan oleh seorang anggota Budi Utomo yang juga guru di sekolah pemerintah.
Ketika
sekolah ini dibuka hanya ada 9 murid yang mendaftar. Hal itu membuktikan bahwa
umat Islam belum memandang pentingnya ilmu pengetahuan umum dan agama. Respon
tersebut tidak mematahkan semangat Kyai Dahlan. Ia tidak segan-segan mendatangi
anak-anak sampai ke rumahnya untuk mengajak mereka masuk sekolah. Kyai Dahlan
juga memberikan perhatian khusus pada pendidikan anak-anak perempuan. Karena
bila anak laki-laki maju, anak perempuan terbelakang maka terjadi kepincangan.
Pada tahun 1918 didirikan sekolah Aisyiyah. Suatu pertanda bahwa pemikiran
emansipasi pendidikan juga menjadi perhatian Kyai Dahlan. Sinergi antara ilmu umum dan agama juga merupakan tanda bahwa Kyai
Dahlan sangat menyadari pentingnya pembangunan kepribadian sebagai salah satu
tujuan pendidikan. Entah disadari atau tidak, upaya Kyai Dahlan menyinergikan
antara ilmu umum dan agama ini merupakan sebuah antitesis terhadap Prof. Snouck
Hurgronje. Inilah sebab mengapa pemikiran Kyai Dahlan di bidang pendidikan
merupakan sebuah terobosan yang membawa dampak besar bagi umat. Lebih jauh
kedepan, dapat kita lihat hasilnya dengan munculnya kader-kader Muhammadiyah
yang turut mewarnai dunia politik dengan membawa identitas ke-Islamannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
secara umum pada awal abad ke-20 M tersebut, corak gerakan keagamaan Islam
di Indonesia dapat dipetakan dengan meminjam istilah Achmad Jainuri sebagai
berikut:
·
Tradisionalis-konservatis, yakni mereka yang menolak kecenderungan westernisasi (pembaratan) dengan
mengatasnamakan Islam yang secara pemahaman dan pengamalan melestarikan
tradisi-tradisi yang bercorak lokal. Pendukung kelompok ini rata-rata dari
kalangan ulama, tarekat dan penduduk pedesaan.
·
Reformis-modernis, yakni mereka
menegaskan relevansi Islam untuk semua lapangan kehidupan baik privat maupun
publik. Islam dipandang memiliki karakter fleksibilitas dalam berinteraksi
dengan perkembangan zaman.
·
Radikal-puritan, seraya sepakat dengan klaim fleksibilitas Islam di tengah arus zaman, mereka enggan
memakai kecenderungan kaum modernis dalam memanfaatkan ide-ide Barat. Mereka
lebih percaya pada penafsiran yang disebutnya sebagai murni Islami. Kelompok ini
juga mengkritik pemikiran dan cara-cara implementatif kaum tradisionalis.
Sebagai pengayaan, menarik jika tipologi ini dikomparasikan dengan kasus
gerakan Islam yang berkembang di Turki.
B. Saran
Saran yang kami berikan kepada pembaca adalah ketika memahami sebuah pemabaharuan
Islam di indonesia hendaknya jangan hanya dari satu sumber saja, tetapi mencari dari beberapa sumber atau
banyak sumber, sehingga kita dapat memahami pembaharuan islam di indonesia ini
dengan baik, adapun dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak sekali
kekurang, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami butuhkan,
untuk memperbaiki penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anshoriy, Nasruddin. 2010. Matahari Pembaruan; Rekam Jejak KH Ahmad
Dahlan. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher.
Damimi, Mohammad. 2000. Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta:
Penerbit Fajar Pustaka Baru.
Hitti, Philip K. 2006. History of the Arabs (terj. R. Cecep Lukman
Yasin & Dedi Slamet Riyadi). Jakarta: Penerbit Serambi.
Mulkhan, Abdul Munir. 2000. Islam Murni dalam Masyarakat Petani.
Yogyakarta: Penerbit Yayasan Bentang Budaya.
Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Komentar
Posting Komentar