SEJARAH BIMBINGAN DAN KONSELING ## YULIZA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Konsep bimbingan dan konseling telah lama
dikenal manusia melalui sejarah. Sejarah tentang “developing one’s
potential” (pengembangan potensi individu) dapat ditelusuri dari
masyarakat Yunani kuno. Mereka menekankan tentang upaya-upaya untuk
mengembangkan dan memperkuat individu melalui pendidikan, sehingga mereka dapat
mengisi peranannya di masyarakat. Mereka meyakini bahwa dalam diri individu
terdapat kekuatan-kekuatan yang dapat distimulasi dan dibimbing ke arah
tujuan-tujuan yang berguna, bermanfaat, atau menguntungkan baik bagi dirinya
sendiri maupun masyarakat.
Di
awal abad ke-21 ini penyelenggaraan pendidikan di Indonesia mulai memasuki era
profesional. Hal ini ditandai dengan penegasan bahwa “pendidik merupakan tenaga
profesional” (UU No 20 tahun 2003 Pasal 39 ayat 2), dan “profesional adalah
pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan
kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi
standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi” (UU No.
14 Tahun 2005 Pasal 1 Butir 4). Tentang pendidikan profesi disebutkan
bahwa ”pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana
yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan
keahlian tertentu” (UU No. 20 Tahun 2005 Penjelasan Pasal 15). Dengan demikian
persyaratan dasar untuk dapat mengikuti program pendidikan profesi adalah
tamatan program sarjana.
B. Rumusan masalah.
1. Sejarah bimbingan dan
konseling
2. Apa saja landasan professional
konseling?
C. Tujuan.
1. Untuk mengetahui sejarah
bimbingan dan konseling.
2. Untuk mengetahui apa saja
landasan bimbingan dan konseling.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah bimbingan dan
knseling.
Bimbingan dan Konseling sebagai profesi pertama kali lahir di Amerika pada awal abad XX, yaitu ketika Frank Person membuka klinik di Boston untuk memberi pengarahan kepada para pemuda untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai. Pada tahun 1950 an bidang ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, bukan hanya dalam bidang pekerjaan tetapi merambah pada bidang pendidikan. Dari segi wilayah geografis, bimbingan dan konseling tidak lagi terbatas hanya di Amerika, tetapi berkembangan menjalar ke Eropa, Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Australia. Tahun 1970-1980 bimbingan dan Konseling masuk ke dalam kurikulum Sekolah Menengah di negeri-negeri yang mengambil sistem pendidikan Barat. Munculnya Bimbingan dan Konseling di Afmerika pada awal abad XX merupakan tuntunan logis dari dinamika masyarakat Amerika ketika itu.
Perkembangan
layanan bimbingan di Indonesia berbeda dengan di Amerika.Jika di Amerika
dimulai usaha perorangan dan pihak swasta,kemudian berangsur-angsur menjadi usaha pemerintah. Sedangkan Indonesia perkembangannya
dimulai dengan kegiatan di sekolah dan usaha-usaha pemerintah. Mengenai
penggunaan istilah Guidance dan Counseling di Indonesia ada yang yang tetap
menggunakan istiah bahasa asing sehingga sering disingkat “GC”, Bimbingan dan
Penyuluhan dengan singkatan “BP”dan Bimbingan dan konseling dengan singkatan
“BK”. Dan dipergunakan di IKIP YOGYAKARTA adalah Bimbingan dan Konseling.
Bimbingan dan konseling secara formal dibicarakan oleh para
ahli baru pada tahun 1960. Tetapi di Yogyakarta pada tahun 1958, Drs.Tohari
musnamar, dosen ikip Yogyakarta telah mempelopori pelaksanaan BK di sekolah
untuk pertama kali di SMA Teladan Yogyakarta. Sedang pada tahun 1960 di adakan
konferensi FKIP seluruh Indonesia di Malang, memutuskan bahwa bimbingan dan
konseling dimasukan dalam FKIP. Dan pada tahun 1961 mulai diadakan layanan
bimbingan dan konseling diseluruh SMA Teladan di Indonesia, sejak itu lah BK di
Indonesia dimulai.
Pada kurikulum 1975 untuk sekolah umum, dan kurikulum 1976
untuk sekolah kejuruan dicantumkan secara tegas bahwa layanan bimbingan dan
konseling harus dilaksanakan pada tiap-tiap sekolah. Perkembangan mengenai
bimbingan dan konseling disekolah di Indonesia sangat dirasakan perlu dan
pentingnya ada pembimbing khusus (profesional) yang mengenai bimbingan dan
konseling di sekolah.
Perumusan dan pencantuman resmi di dalam rencana
pelajaran SMA disusul dengan berbagai pengembangan layanan bimbingan dan
konseling disekolah, seperti rapat kerja, penataran dan lokakarya. Puncak dari
usaha ini adalah didirikannnya jurusan bimbingan dan penyuluhan di Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan(IKIP) negeri. Salah satu yang membuka jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan adalah IKIP Bandung pada tahun 1963 yang sekarang
dikenal dengan nama UPI. Usaha
mewujudkan sistem sekolah pembangunan
dilaksanakan melalui proyek pembaharuan pendidikan, yang diberi nama Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan (PPSP) yang diuji coba didelapan IKIP.
B. Landasan Professional Konseling.
Landasan
dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan faktor-faktor yang
harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam
mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah bangunan, untuk
dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fundasi yang kuat dan tahan
lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fundasi yang kokoh, maka
bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan
bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fundasi atau landasan yang
kokoh akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling
itu sendiri dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya
(klien).
Landasan filosofis merupakan
landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor
dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa
dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis. Landasan filosofis
dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban
yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu ? Untuk
menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat
dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik
sampai dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai
aliran filsafat yang ada, para penulis Barat .(Victor Frankl, Patterson,
Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah
mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut :
Ø Manusia
adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk
meningkatkan perkembangan dirinya.
Ø Manusia
dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan
kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
Ø Manusia
berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri
khususnya melalui pendidikan.
Ø Manusia
dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya
untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol
keburukan.
Ø Manusia
memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara
mendalam.
Ø Manusia
akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud
melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
Ø Manusia
adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
Ø Manusia
adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat
pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini
memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu
adan akan menjadi apa manusia itu.
Ø Manusia
pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun,
manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk
melakukan sesuatu.
Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan
dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu
sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu
melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai
dimensinya.
Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan
pemahaman bagi konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan
(klien). Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi
yang perlu dikuasai oleh konselor adalah tentang : (a) motif dan motivasi; (b)
pembawaan dan lingkungan, (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (e)
kepribadian.
a. Motif
dan Motivasi
Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan
yang menggerakkan seseorang berperilaku baik motif primer yaitu motif yang
didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu semenjak dia lahir,
seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya maupun motif sekunder yang
terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh pengetahuan atau
keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut tersebut
diaktifkan dan digerakkan,– baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik)
maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)–, menjadi bentuk perilaku
instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.
b. Pembawaan
dan Lingkungan
Pembawaan dan lingkungan
berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi perilaku
individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan merupakan
hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti struktur otot, warna
kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri-kepribadian tertentu.
Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan untuk
mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan dimana individu itu
berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda. Ada
individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau
bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius),
normal atau bahkan sangat kurang (debil, embisil atau ideot). Demikian pula
dengan lingkungan, ada individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif
dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang
dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Namun ada pula individu yang hidup
dan berada dalam lingkungan yang kurang kondusif dengan sarana dan prasarana
yang serba terbatas sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya tidak
dapat berkembang dengan baik.dan menjadi tersia-siakan.
c. Perkembangan
Individu
Perkembangan individu
berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang merentang sejak
masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya meliputi aspek
fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial.
Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan sebagai
rujukan, diantaranya :
1. Teori
dari McCandless tentang pentingnya dorongan biologis dan kultural dalam
perkembangan individu;
2. Teori
dari Freud tentang dorongan seksual;
3. Teori
dari Erickson tentang perkembangan psiko-sosial;
4. Teori
dari Piaget tentang perkembangan kognitif
5. teori
dari Kohlberg tentang perkembangan moral;
6. teori
dari Zunker tentang perkembangan karier;
7. Teori
dari Buhler tentang perkembangan sosial; dan
8. Teori
dari Havighurst tentang tugas-tugas perkembangan individu semenjak masa bayi sampai dengan masa dewasa.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor
harus memahami berbagai aspek perkembangan individu yang dilayaninya sekaligus
dapat melihat arah perkembangan individu itu di masa depan, serta
keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan lingkungan.
d. Belajar
Belajar merupakan salah satu konsep yang amat
mendasar dari psikologi. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang
tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan dirinya, dan dengan belajar
manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan
belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang
sudah ada pada diri individu. Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar dan
pencapaian sesuatu yang baru itulah tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek
kognitif, afektif maupun psikomotor/keterampilan.Untuk terjadinya proses
belajar diperlukan prasyarat belajar, baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan
dari kematangan atau pun hasil belajar sebelumnya.
Untuk memahami tentang hal-hal yang berkaitan
dengan belajar terdapat beberapa teori belajar yang bisa dijadikan rujukan,
diantaranya adalah :
1. Teori
Belajar Behaviorisme;
2. Teori
Belajar Kognitif atau Teori Pemrosesan Informasi; dan
3. Teori
Belajar Gestalt. Dewasa ini mulai berkembang teori belajar alternatif
konstruktivisme.
e. Kepribadian
Hingga saat ini para ahli tampaknya masih belum
menemukan rumusan tentang kepribadian secara bulat dan komprehensif.. Dalam
suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S.
Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang
kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya
dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap.
Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri
individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian
kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider dalam Syamsu Yusuf (2003)
mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang
bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan
dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma)
lingkungan.Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas
sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya.
Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya
konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya
yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan
atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan
lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu,
terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya :
Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, Teori Analitik dari Carl Gustav Jung,
Teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori
Personologi dari Murray, Teori Medan dari Kurt Lewin, Teori Psikologi
Individual dari Allport, Teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson,
Teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin
(2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang mencakup :
Ø Karakter;
yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam
memegang pendirian atau pendapat.
Ø Temperamen;
yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap
rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
Ø Sikap;
sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
Ø Stabilitas
emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari
lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
Ø Responsibilitas
(tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan
yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau
melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
Ø Sosiabilitas;
yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti:
sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan
orang lain.
Untuk kepentingan layanan bimbingan dan
konseling dan dalam upaya memahami dan mengembangkan perilaku individu yang
dilayani (klien) maka konselor harus dapat memahami dan mengembangkan setiap
motif dan motivasi yang melatarbelakangi perilaku individu yang dilayaninya
(klien). Selain itu, seorang konselor juga harus dapat mengidentifikasi
aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya sebagai modal untuk memperoleh
kesuksesan dan kebahagian hidup kliennya. Begitu pula, konselor sedapat mungkin
mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan segenap potensi
bawaan kliennya. Terkait dengan upaya pengembangan belajar klien, konselor
dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam belajar serta berbagai teori
belajar yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya pengembangan kepribadian
klien, konselor kiranya perlu memahami tentang karakteristik dan keunikan
kepribadian kliennya. Oleh karena itu, agar konselor benar-benar dapat
menguasai landasan psikologis, setidaknya terdapat empat bidang psikologi yang
harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi umum, psikologi
perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan psikologi
kepribadian.
3.
Landasan
Sosial-Budaya
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang
dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan
dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu.
Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana
ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan
pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di
sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan
tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi
dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam
proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila
perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan
timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat
terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan
dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi
interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan
klien memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno
(2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam
komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu : (a) perbedaan
bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan menilai;
dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak
yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun
sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak
belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau
golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang
biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain disamping dapat
menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan
reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki
lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yanmg
berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture
shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus
berbuat sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat
terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.
Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling
di Indonesia, Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan dan
konseling multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan
multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia.
Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal
ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling
hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata
mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.
4.
Landasan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Layanan bimbingan dan konseling merupakan
kegiatan profesional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut
teori maupun prakteknya. Pengetahuan tentang bimbingan dan konseling disusun
secara logis dan sistematis dengan menggunakan berbagai metode, seperti:
pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes, inventory atau analisis
laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku teks dan
tulisan-tulisan ilmiah lainnya.
Sejak awal dicetuskannya gerakan bimbingan,
layanan bimbingan dan konseling telah menekankan pentingnya logika, pemikiran,
pertimbangan dan pengolahan lingkungan secara ilmiah (McDaniel dalam Prayitno,
2003).
Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang
bersifat “multireferensial”. Beberapa disiplin ilmu lain telah memberikan
sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek bimbingan dan konseling, seperti
: psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi, filsafat,
sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama. Beberapa
konsep dari disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan
pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan teori maupun
prakteknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling selain
dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai
bentuk penelitian.
Sejalan dengan perkembangan teknologi,
khususnya teknologi informasi berbasis komputer, sejak tahun 1980-an peranan
komputer telah banyak dikembangkan dalam bimbingan dan konseling. Menurut
Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak memanfaatkan jasa komputer
ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling pendidikan. Moh. Surya
(2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi komputer
interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien) tidak hanya dilakukan
melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan secara
virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber counseling”. Dikemukakan
pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut kesiapan
dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan
dan konseling.
Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi
ini, maka peran konselor didalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana
dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno, 2003) bahwa konselor adalah seorang
ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan pengetahuan dan
teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil pemikiran
kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian. Berkenaan dengan layanan bimbingan dan
konseling dalam konteks Indonesia, Prayitno (2003) memperluas landasan
bimbingan dan konseling dengan menambahkan landasan paedagogis, landasan
religius dan landasan yuridis-formal.
Landasan paedagogis dalam layanan bimbingan dan
konseling ditinjau dari tiga segi, yaitu: (a) pendidikan sebagai upaya
pengembangan individu dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan
pendidikan; (b) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling; dan (c)
pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan konseling.
Landasan religius dalam layanan bimbingan dan
konseling ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu : (a) manusia sebagai makhluk
Tuhan; (b) sikap yang mendorong perkembangan dari perikehidupan manusia
berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama; dan (c) upaya yang
memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan
perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan
yang sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu
perkembangan dan pemecahan masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006)
bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan
konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa
Barat yang ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak
memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini
sedang berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan
nilai-nilai spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya
bimbingan dan konseling yang berlandaskan spiritual atau religi.
Landasan yuridis-formal berkenaan dengan
berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia tentang
penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber dari Undang-Undang
Dasar, Undang – Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri serta berbagai
aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang penyelenggaraan bimbingan dan
konseling di Indonesia.
5. Landasan Pedagogis
Bimbingan dan
konseling itu identik dengan pendidikan.Artinya ketka seseorangmelakukan
praktik bimbingan dan konseling berarti ia sedang mendidik., dan begitu pula sebaliknya.
Pendidikan itu merupakan salah satu
lembaga sosial yang universal dan berfungsisebagai sarana reproduksi sosial (
Budi Santoso, 1992)
Landasan pedagogis
dalam layanan bimbingan dan konseling ditinjau dari tigasegi,
yaitu:
1.
Pendidikan sebagai upaya pengembangan
Individu: Bimbingan merupakan bentuk upaya pendidikan.
Pendidikan adalah
upaya memanusiakan manusia. Seorang bagi manusia hanyaakan dapat menjadi
manusia sesuai dengan tuntutan budaya hanya melalui pendidikan.tanpa pendidikan
manusia yang telah lahir tidaka akan mampu.
memperkembangkan dimensi keindividualannya, kesosialisasinya, kesosilaanya dan keberagamaanya.Undang-Undang
No. 2 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 1 ayat(1) ditegaskan
bahwa :
Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memilikikekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, sertaketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Tujuan bimbingan dan konseling tidak
boleh menyimpang dengan tujuan pendidikan nasional, yakni yang terdapat dalam
UU No. 20/2003 juga,disebutkan
bahwa :
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan bangsa dan me gembangkan manusiaIndonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani danrohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Integrasi
bimbingan dan konseling dengan pebdidikan juga tampak dari dimasukannyasecara berkesinambungan berbagai program pelayanan
bimbingan dankonseling ke dalam program-program sekolah dan madrasah.
2.
Pendidikan
sebgai inti proses bimbingan konseling.
Bimbingan dan konseling mengembangkan proses belajar
yang dijalani oleh klien – kliennya. Kesadaran ini telah tampil sejak
pengembangan gerakan bimbingan dan konseling secara meluas di amerika serikat.
Pada tahun 1953 giston telah menegaskan bahwa bimbingan dan konseling proses
yang berorientasi pada belajar , belajar untuk lebih memahami lebih jauh
tentang diri sendiri; belajar untuk mengembangkan dna menerapkan secara efektif
berbgai pemhaman (dalam belkin 1975 ). Lebih jauh , Nugent ( 1981 )
mengemukakan bahwa dalam konseling klien mempelajari ketrampilan dalam
pengambilan dalam keputusan, pemecahan masalah , tingkah laku , serta sikap –
sikap baru. Dengan belajar itulah klien memperoleh berbgai hal yang baru bagi
dirinya.; dengan memperoleh hal – hal baru itulah klien berkembang.
Sikap normative
merupakan sikap yang inheren pada ilmu pendidikan. Demikian juga pad bimbingan
dan konseling. Kesamaan kondisi interheren itulah agaknya yang merupkan salah
satu pengikat sehingga keduanya merupakan disiplin ilmu yang amat terkait satu
sama lain. Di samping itu penekanan pada proses belajar juga merupakan pengikat
diantara keduanya.
3.
Pendidikan
lebih lanjut sebagai inti tujuan bimbingan dan konseling
Pendidikn
merupakan upaya berkelanjutan apabila suatu kegiatan atau program pendidikan
selesai individu tidak hanya berhenti di sana. Ia majua terus dengan kegiatan
dan program pendidikan yang lainnya. Proses pendidikan yang berhasil setaip
kali memperkaya peserta didik dan makin memantapkan pribadi peserta didik
menuju manusia seutuhnya. Bimbingan dan konseling memiliki tujuan khusus (
jangka pendek ) dan tujuan umum (jangka panjang), tujuan pendek yang akan di
capai adalah membantu individu dalm memecahkan masalahnya sedang tujuan ahirnya
atau tujuan panjangnya adalah iyalah bimbingan diri sendiri. Hasil bimbingan
yang membuat individu melakukan bimbingan diri sendiri merupakan modal terbesar
tambahan yang akan lebih memungkinkan kesuksesan pendidikan yang di jalani oleh
individu itu lebih lanjut.
Demikianlah proses bimbingan dan konseling adalah
proses pendidikan yang menekankan pada pada kegiatan belajar dan sifat
normative. Tujuan – tujuan pendidikan dan menunjang program pendidikan secara
menyeluruh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Bimbingan
dna konseling pertama kali muncul di America pada abad ke-XX, oleh Frank Person
yang kemudian berkembang keseluruh Negara- Negara di dunia termasuk Indonesia.
Di Indonesia Bimbingan dan konseling secara formal dibicarakan oleh para
ahli baru pada tahun 1960. pada
tahun 1960 di adakan konferensi FKIP seluruh Indonesia di Malang. Dan pada tahun 1961 mulai diadakan
layanan bimbingan dan konseling diseluruh SMA Teladan di Indonesia.
Dan untuk menjadi professional dalam
konseling, seseorang harus memahami landasan – landasanya yaitu :
1. Landasan filosofis
2. Landasan religious
3. Landasan Psikologis
4. Landasan Social budaya
5. Landasan Ilmiah dan teknologi
6. Landasan pedagogis
B. Rekomendasi.
Kepada para mahasiswa / calon
guru diharapkan untuk memahami landasan – landasan BK agar tercipta
professional bimbingan dan konseling.
DAFTAR PUSTAKA
http://alessiezaris.blogspot.com/2012/02/8-landasan- bimbingan-konseling.html
Prayitno dan Erman Amti. 2009.
Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta; Rineka Cipta.
Aib Badrujaman. 2011.
Teori dan
aplikasi evaluasi program bimbingan dan konseling. Jakarta; Rineka Cipta.
Prayitno. 1987.
Profesionalisasi
Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta; Rineka Cipta.
Komentar
Posting Komentar