ASPEK EMOSI DALAM KONSELING

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Manusia adalah makhluk yang memiliki rasa dan emosi. Hidup manusia diwarnai dengan emosi dan berbagai macam perasaan. Manusia sulit menikmati hidup secara optimal tanpa memiliki emosi. Manusia bukanlah manusia, jika tanpa emosi. Kita memiliki emosi dan rasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kita sebagai manusia.

Ahli psikologi memandang manusia adalah makhluk yang secara alami mamiliki emosi. Menurut James (Purwanto dan Mulyono, 2006) emosi adalah keadaan jiwa yang menampakkan diri dengan sesuatu perubahan yang jelas pada tubuh. Emosi setiap orang adalah mencerminkan keadaan jiwanya, yang akan tampak sejarah nyata pada perubahan jasmaninya. Sebagai contoh ketika seseorang diliputi emosi marah, wajahnya memerah, napasnya menjadi sesak, otot-otot tangannya akan memegang, dan energi tubuhnya memuncak.

Proses kemunculan emosi melibatkan faktor psikologis maupun faktor fisiologis. Proses kebangkitan emosi kita pertama kali muncul akibat adanya stimulus atau sebuah peristiwa, yang bisa netral, positif, ataupun negatif. Stimuus tersebut kemudian ditangkap oleh reseptor kita, lalu melalui otak, kita menginterpretasikan kejadian tersebut sesuai kejadian. Interpretasi yang kita buat kemudian memunculkan perubahan internal dalam tubuh kia. Perubahan tersebut misalnya, napas tersengal, mata memerah, keluar air mata, dada menjadi sesak, perubahan raut wajah, intonasi suara, cara menatap, dan perubahan tekanan darah kita.[1]

Seseorang kadang-kadang masih dapat mengontrol keadaan dirinya sehingga emosi yang dialami tidak tercetus keluar dengan perubahan atau tanda-tanda kejasmanian seperti wajah memerah ketika marah, air mata berlinang ketika sedih atau terharu (Walgito, 1994).

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

ASPEK EMOSI DALAM KONSELING

 

Emosi merupakan warna afektif yang menyertai setiap perilaku individu yang berupa perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi situasi tertentu. Interaksi antara kognisi, emosi dan tindakan mencerminkan satu sistem hubungan sebab akibat. Kata emosi berasal dari bahasa Latin “emovere” yang artinya bergerak keluar. Emosi adalah rasa dan atau perasaan yang membuatkecenderungan yang mengarah terhadap sesuatu yang secara intuitif dinilai hal yang baik atau bermanfaat, atau menjauhi dari sesuatu yang secara intuitif dinilai buruk atau berbahaya. Tindakan itu dikenal oleh pola-pola perubahan fisiologis sejalan dengan mendekati atau menghindari obyek, pola tindakan berbeda antara emosi  yang berbeda.

Maksud setiap emosi adalah untuk menggerakkan individu untuk menuju rasa aman dan pemenuhan kebutuhannya serta menghindari sesuatu yang merugikan  dan menghambat pemenuhan kebutuhan. emosi dasar sangat diperlukan oleh individu untuk memperoleh kelestarian hidup karena emosi berkontribusi terhadap kestabilan seluruh kehidupannya. Sebagai contoh orang membutuhkan cinta, tetapi ia pun perlu merasakan pula sakit hati (hurt) yang mengajarnya untuk menghadapi situasi yang membahayakan, takut (fear) yang mengantisipasi dan isyarat akan adanya bahaya, marah (anger) yang memindahkan hambatan untuk mencapai pemuasan kebutuhan, rasa bersalah (guilt) yang menolong untuk menghindari sesuatu yang dapat melukai dirinya.[2]

Emosi berasal dari kata e yang berarti energi dan motion yang berarti getaran. Emosi kemudian bisa dikatakan sebagai sebuah energi yang terus bergerak dan bergetar (Chia, 1985). Emosi dalam makna paling harfiah didefinisikan sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu dari setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Emosi yang merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan bertindak (Goleman, 1997).

Menurut Chaplin (2002) merumuskan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya dan perubahan perilaku. Emosi merupakan keadaan yang ditimbulkan oleh situasi tertentu. Emosi cenderung terjadi dalam kaitannya dengan perilaku yang mengarah (approach) atau menyingkir (avoidance) terhadap sesuatu. Perilaku tersebut pada umumnya disertai adanya ekspresi kejasmanian sehingga orang lain dapat mengetahui bahwa seseorang sedang mengalami emosi. Misalnya kalau orang mengalami ketakutan mukanya menjadi pucat, jantungnya berdebar-debar, jadi adanya perubahan-perubahan kejasmanian sebagai rangkaian dari emosi yang dialami oleh individu yang bersangkutan (Walgito, 1994). [3]

Craw & craw (1962) mengartikan bahwa emosi merupakan “suatu keadaan yang berkejolak pada diri individu yang difungsi/berperan sebagai inner adjusdment (penyesuain dari dalam) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu.[4]

Pada dasarnya emosi manusia bisa dibagi menjadi dua kategori umum jika dilihat dari dampak yang ditimbulkannya yaitu, a) emosi positif atau biasa disebut dengan afek positif ialah memberikan dampak yang menyenangkan dan menenangkan. Misalnya, tenang, santai, rileks, gembira, lucu, haru, dan lain sebaginya. Ketika kita merasakan emosi positif ini, kita pun akan merasakan keadaan psikologis yang positif, b) emosi negatif atau afek negatif ialah ketika kita merasakan emosi negatif ini maka dampak yang kita rasakan adalah negatif pula, tidak menyenangkan dan menyusahkan. Misalnya, sedih, kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustasi marah, dendam, dan sebagainya. Biasanya kita menghindari dan berusaha menghilangkan emosi negatif ini. adakalanya kita mampu mengendalikannya, tetapi adakalanya kita gagal melakukannya. Ketika kita gagal mengendalikannya atau menyeimbangkan emosi negatif ini maka ketika itu keadaan suasana hati kita menjadi buruk.[5]

Apabila emosi berfungsi secara sempurna, maka sesuai dengan maksudnya emosi akan menimbulkan gerakkan dan arahan. Misalnya apabila seorang laki-laki marah kepada istrinya maka terjadi tindakan (gerakkan) terhadap istrinya (arahan). Bila dijabarkan ada empat kemungkinan proses emosi yang terjadi pada diri individu, yaitu: a) orang dapat menekan emosi sehingga tidak ada gerakkan dan arah tindakannya, b) orang tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengendalikan gerakkan dan arah tindakannya, c) orang digerakkan oleh emosi tetapi tidak memliki arah, d) orang digerakkan oleh emosi tetapi dengan arah yang salah. Emosi menimbulkan gerakkan dan arahan, oleh itu konselor perlu memberikan label yang tepat terhadap gejala emosi kliennya. Kenyataannya sering konselor atau orang pada menggunakan sebutan generik untuk menyebutkan emosi bermasalah, seperti sebutan perasaan cemas, gugup, tegang, tertekan, dan sebagainya. Sebutan tersebut kurang spesifik sehingga kuraang memberikan nilai praktis. Konselor perlu membantu klien untuk menyentuh emosi spesifik atau kombinasi beberapa emosi untuk membantu memecahkan masalah klien.

Ada empat tahapan dalam proses pengkhususan emosi, yaitu;

1)     Emosi spesifik yang menimbulkan perasaan-perasaan generik

2)     Konselor membantu menemukan arah tindakan

3)     Konselor membantu menemukan alasan terhadap emosi spesifik

4)     Konselor membantu klien dalam menangani emosi spesifik secara konstruktif.

 

Sebagai contoh seorang konselor membantu seorang wanita untuk menemukan penyebab rasa cemas karena dia merasa ketakutan dan muncul rasa marah. Konselor memberikan pertanyaan, siapa yang anda marahi atau siapa yang menyakiti anda? Kemudian konselor menolong wanita tersebut untuk menemukan alasan-alasan dari emosi spesifik dengan memberikan pertanyaan. Apa yang anda merasa bersalah atau atau apa yang menyebabkan anda merasa ketakutan? Kemudian diakhiri dengan sebuah pertanyaan; bagaimana anda dapat mengatasi berbagai emosi yang terjadi pada waktu lampau dan apa hasilnya? Atau apa yang anda lakukan untuk menyelesaikan perasaan secara konstruktif?. Permasalahan emosi yang sering dijumpai dalam konseling diantaranya: sakit hati (hurt), takut (fear), marah (anger) dan rasa bersalah (guilt). Keempat hal tersebut dapat dijadikan sebagai sumber masalah atau gejala sebagai kombinasi perilaku karena ada pula perilaku emosi lain seperti: rasa cemburu, rasa malu, depresi, mendapatkan kegagalan, selalu menyendiri, merasa rendah hati, masalah seks dan cinta. Berikut ini akan diuraikan keempat emosi spesifik tersebut:

1.     Sakit hati, rasa sakit hati adalah pengalaman yag dialami seseorang ketika terluka secara psikologis yang mengakibatkan gangguan mental sehingga menimbulkan berbagai konflik dan rasa marah. Ada tiga cara yang menyebabkan orang merasa sakit hati atau terluka hatinya yaitu:

a)     Kehidupan normal dalam interaksi sehari-hari melalui ungkapan verbal, tindakan, kegagalan berbuat atau uacapan yang dirasakan menyakitkan. Misalnya: seorang bekerja keras sesuai dengan keahliannya untuk menyukseskan suatu proyek, namun pimpinan tidak memberikan penghargaan sebagaimana mestinya dan memberikan ungkapan tertentu yang kurang tepat sehingga ia merasa terluka hatinya karena ia merasa bahwa hal ini merupakan bagian dari hidupnya.

b)     Disebabkan oleh suatu yang naif. Misalnya: seorang mahasiswi berkata kepada temannya sekamar bahwa selalu merasa ketakutan untuk bertemu dengan seorang laki-laki. Ia kemudian merasa terluka hatinya karena teman sekamarya menyebar luaskan hal itu kepada orang lain.

c)     Adanya keinginan individu untuk merasakan sakit hati melalui lima dinamika yaitu: a) orang merasakan dianggap berperilaku dengan cara-cara destruktif, b) orang menciptakan situasi tertentu untuk sakit hati dalam upaya mengadili rasa berdosa yang tidak disadari, c) membiarkan dirinya disakiti untuk memanipulasi orang lain, d) menjadi terluka karena berada dalam jalur pertumbuhan orang lain, e) orang menjadi terluka karena membiarkan penafsiran yang salah terhadap orang lain.

 

2.     Takut, rasa takut timbul dari antisipasi terhadap ancaman fisik atau psikologis spesifik. Ancaman psikologis merupakan sumber utama timbulnya rasa takut yang dibawa padanya oleh klien ke dalam konseling. Takut seperti halnya sakit hati, banyak klien mengungkapkan rasa takut dengan menggunakan kata-kata tertentu. Sperti: tegang, khawatir, cemas, bingung, tidak aman, gugup, bosan, dan lain-lain.[6] Takut adalah perasaan yang mendorong individivu untuk menjauhi sesuatu dan sedapat mungkin menghindari kontak dengan hal itu. Bentuk ekstrim dari takut adalaah takut yang pathologis, yang disebut fobia. Fobia adalah perasaan takut terhadap hal-hal tertentu yang demikian kuatnya, meskipun tidak ada alasan yang nyata, misalnya takut terhadap tempat yang sempit dan tertutup (claustrophobia), takut terhadap ketinggian atau takut berada di tempat-tempat yang tinggi (acrophobia), takut terhadap kerumunan orang atau tempat-tempat ramai (ochlophobia).[7]

Ada empat ketakutan yang sering dibawah klien dalam proses konseling, yaitu: (1) takut terhadap kedekatan (fear of intimacy), (2) takut terhadap penolakan (fear of rejection), (3) takut terhadap kegagalan (fear of failure), (4) takut terhadap kebahagiaan (fear of happiness).

 

3.     Marah, marah itu merupakan suatu emosi negatif sehingga banyak orang berusaha untuk menghapus atau menghindarinya. Sebagai akibatnya mereka berusaha menghindari keadaan marah atau menggunakan sebutan sinonim yang dirasakan kurang mengancam seperti kekacauan, frustasi, kecewa, bingung, terganggu, jengkel, sakit hati, dan lain-lain. Tugas konselor ialah membantu klien agar kemarahan itu menjadi lebih realistis dan mampu menyatakan marah dengan cara yang mengarah pada tindakan positif. Marah disebabkan oleh dua hal yaitu: a) terjadinya saat adanya halangan dalam mencapai pemuasan suatu kebutuhan, dan b) terjadi ketika dalam proses pemenuhan kebutuhannya mendapat dari dirinya sendiri. Yang marah kemudian berkembang menjadi bentuk marah kepada pihak lain, dan yang kedua menjadi marah pada diri sendiri. Secara umum kedua penyebab kemarahan tersebut akan menggerakkan orang yang mengarah kepada pemuasan kebutuhan dalam kondisi frustasi.

1.     Depresi, yaitu berada dalam ketertekanan dan menghukum diri sendiri dengan menghindari kebahagiaan dalam kehidupanmereka.

2.     Adiksi atau kecanduan terhadap sesuatu seperti alkohol, minuman keras, narkoba, dan judi.

3.     Salah tempat dan orang, yaitu memilih teman, kumpulan, pekerjaan atau tempat yang sebenarnya sudah terganggu dan menyebabkan stress dan tidak bahagia.

4.     Perilaku serampangan, yaitu berbagai bentuk perilaku yang tidak jelas bentuk dan arahnya dan menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis.

5.     Pengorbanan, merupakan upaya melepaskan berbagai hal yang sebenarnya menguntungkan dirinya, seperti cinta, berbuat amal kebaikan, benci, semangat keagamaan.

6.     Canggung atau kikuk, yaitu menampilkan perilaku yang serba salah meskipun sebenarnya mampu berbuat secara benar.

7.     Manifestasi fisik, orang dengan kemarahan terhadap fisik seperti menjadi kurus dan gemuk atau menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti sakit kepala, sakit perut.

8.     Degradasi perilaku, yaitu adanya penurunan perilaku seperti merasa malu yang diikuti dengan penyalahan terhadap diri, penurunan emosi, penurunan fisik, gangguan seksual.

 

Dalam konseling konselor harus memahami manifestasi dan dinamikpaa marah terhadap diri sendiri agar dapat membantu klien untuk mengatasi masalah yang timbul karena marah terhadap diri sendiri. Konselor membantu klien dalam melihat realitas marah dan mengembangkan penyaluran marah melalui cara-cara yang sehat dan konstruktif. Suasana konseling harus tercipta sedemikian rupa sehingga klien memperoleh pengalaman dalam mengendalikan marah terhadap dirinya sendiri. Konselor dapat membantu klien mengkomunikasikan bahwa marah dapat merubah tingkah laku yang dapat melukai dan menemukan sasaran yang benar serta memanfaatkan marah tersebut untuk melakukan perubahan yang lebih produktif.

 

4.     Rasa Bersalah (Guilt)

Rasa bersalah adalah perasaan tidak nyaman/gunda atau malu pada saat seorang melakukan kesalahan, keburukan atau moral. Rasa bersalah dapat menjadi mitivasi untuk meningkatkan perbaikan perilaku pada saat menghadapi suatu masalah dimasa yang akan datang. Rasa bersalah dapat terjadi ketika seorang legitimately (secara aturan) mereduksi kepercayaan dirinya. Perkataan legitimately  sangat penting dengan tiga alasan: a) orang yang memiliki harapan positif yang tidak realistik terhadap dirinya dan merasakan kebencian terhadap dirinya sendiri apabila mengalami kegagalan, b)rasa dapat dicintai seseorang yang tergantung pada evaluasi orang lain, c) rasa harga diri seseorang dapat terkait dengan moral mutlak yang tidak beralasan. Konselor dapat membantu klien apabila merasakan rasa bersalah dan membantu mereka apakah rasa bersalah itu benar atau salah, kemudian menemukan cara yang tepat untuk menghindari masalah yang timbul. Konselor harus memahami adanya tiga macam rasa bersalah yaitu, 1) rasa bersalah psikologis yang terjadi apabila individu berperilaku yang bertentangan dengan konsep dirinya, 2) rasa bersalah sosial yang terjadi karena perilaku yang dirasakan bertentang dengan aturan-aturan sosial, 3) rasa bersalah religi yang timbul karena berperilaku bertentangan dengan kaidah-kaidah agama.[8]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Safaria, Triantoro dan Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda, Ed. 1, Cet. 1, Jakarta, PT Bumi Aksara, 2009.

Bakar M. Luddin, Abu, Psikologi Konseling, Bandung, Citapustaka Media Perintis, 2011.

Effendi, Usman dan Juhaya S. Praja, Pengantar Psikologi, Bandung: Angakasa, 1989.

Wirawan Sarwono, Sarlito, Pengantar Umum Psikologi, Jakarta, Bulan Bintang, 2012.

Hartati, Netty dkk, Islam dan Psikologi, Ed. 1-2, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005.

 



[1] Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda, Ed. 1, Cet. 1, (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2009), h. 14-15

[2] Abu Bakar M. Luddin, Psikologi Konseling, (Bandung, Citapustaka Media Perintis, 2011), h. 70-71

[3] Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda, Ed. 1, Cet. 1, (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2009), h. 12

[4] Usman Effendi dan Juhaya S. Praja, Pengantar Psikologi, (Bandung: Angakasa, 1989), h. 81

[5] Ibid, h. 13-14

[6] Abu Bakar M. Luddin, Psikologi Konseling, (Bandung, Citapustaka Media Perintis, 2011), h. 71

[7] Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta, Bulan Bintang, 2012), h. 63

Persamaan yang dapat dilihat dari Netty Hartati dkk, Islam dan Psikologi, Ed. 1-2, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 102

[8] Abu Bakar M. Luddin, Psikologi Konseling, (Bandung, Citapustaka Media Perintis, 2011), h. 76-79

 

Komentar

Postingan Populer